DESA CIKASO

SEJARAH

1052 0

SEJARAH DESA

SEJARAH SINGKAT DESA CIKASO

Desa Cikaso merupakan salah satu desa yang sudah tua, sejarah mengenai kapan terbentuknya, dari mana asal orangnya dan sejarah hal-hal yang lainnya sampai sekarang belum terungkap. Misteri-misteri yang tersimpan pada tempat-tempat yang dianggap mempunyai keramat sampai saat inipun masih menjadi misteri (belum diketahui rahasianya), benda-benda pusaka dan harta-harta yang menurut ceritra tersimpan di Gunung simpen (nama salah satu tempat keramat yang berlokasi di Rt. 21/01 Dusun Manis) sampai kinipun belum terbongkar. Orang hanya dapat mengetahui dari dongeng-dongeng yang terkadang membawa hati kita untuk menyelami kegaiban mahluk-mahluk halus sehingga orang yang mendongengnya itu sulit untuk membuktikan kebenaran ceritranya dan orang yang tidak atau kurang kepercayaan kepada mahluk-mahluk gaib sulit untuk menerima ceritra tersebut.

CERITERA RAKYAT

1.      Ceritera rakyat

Yang dimaksud ceritera rakyat adalah ceritera yang berkembang dimasyarakat, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut tanpa disebutkan tahun kejadiannya. Ceritera rakyat ini banyak kelemahannya karena selain tidak disebut tahun kejadiannya, faktor keterbatasan ingatan sipenceritera dari orang yang satu ke orang yang lain akan ada bumbu-bumbu ceritera baik menambah ataupun mengurangi.

Penulis disini akan menyajikan ceritera rakyat pada zaman Tumenggung Argawijaya hasil wawancara dengan beberapa orang tua, rekaman kaset, wawancara siswa SMA Muhammadiyah dengan Bapak Rusba dan Bapak Umar Widjaya almarhum, ceritera yang diungkap dalam ceritera wayang yang sering dilakonkan oleh dalang Ali pada tahun 50-an yang kesemuanya ini penulis himpun dan disusun dalam satu ceritera, selain itu tentu saja daya imajinasi penulis sendiri dikembangkan untuk menyusun sistematika penulisan, adapun kisah-kisahnya sebagai berikut :

  Tersebutlah kisah di Cikaso ada pemerintahan dengan kepala pemerintahannya bergelar Tumenggung, jenjang pemerintahan yang ada pada waktu itu terdiri dari Tumenggung (setingkat Bupati), Demang (setingkat Wedana) dan Desa dipimpin oleh Kuwu.

Adapun yang jadi Tumenggung adalah Tumenggung Argawijaya dengan Patihnya Nagareja. Tumenggung Argawijaya adalah anak dari Dalem Indrawana dan dalem Indrawana mempunyai adik bernama Indraimawan. Mengenai Indrawana dan Indraimawan tidak banyak diceriterakan begitu pula asal usulnya.

Sebutan Dalem bagi Kepala Pemerintahan di daerah Kuningan digunakan sekitar tahun 1700, hal ini berdasarkan catatan dalam buku sejarah Kuningan yang menceriterakan bahwa setelah Prabu Geusan Ulun meninggal pada tahun 1650, kepala pemerintahan diganti anaknya yang sulung yang bergelar Mangkubumi. Setelah Dalem Mangkubumi memegang kekuasaan di Kuningan maka timbul kembali kekuasaan-kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain.

Di pusat kota Kuningan dipegang oleh Dalem Mangkubumi, sedangkan saudara-saudaranya sebanyak 28 (dua puluh delapan) orang menempati tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama julukannya atau tempat pemakamannya seperti Dalem Mangkubumi dimakamkan di Purwawinangun, Dalem Citangtu, Dalem Pasawahan, Dalem Panyilih, Dalem Koncang, Dalem Trijaya, Dalem Kasturi, Dalem Dago Jawa, Dalem Winduherang, Dalem Cengal dan lain-lain.

Apabila dilihat dari sejarah Kuningan, Dalem Indrawana tidak tercatat ini berarti bahwa Cikaso terpisah dari Kuningan dan Pemerintahan Indrawana diperkirakan pada sekitar tahun 1750.

Kita kembali mengenai Ceritera Rakyat di Cikaso, suatu waktu Tumenggung Argawijaya diundang untuk ikut menghadiri perayaan “mulud” di Solo (Yogya), akan tetapi karena berhalangan menugaskan Demang Cimarilit untuk menghadirinya, tentu saja dengan membawa upeti dan diiringi beberapa pengawal. Waktu datang seluruh undangan yang lain sudah hadir sedang menghadap Sultan dan Demang Cimarilit datangnya terlambat sehingga ditegur oleh Sultan. Atas teguran tersebut tentu saja merasa tersinggung lalu menjawab bahwa meskipun datangnya terlambat saya tidak akan kalah oleh orang lain, maka merokoklah Demang Cimarilit, tiba-tiba muncul beberapa ekor harimau yang mengacaukan pertemuan, tanpillah Demang Cimarilit untuk menangkap dan menungganginya sehingga seluruh peserta yang hadir terbengong-bengong dan duduk kembali. Pada waktu akan pulang Demang Cimarilit tidak permisi lagi, sehingga dicari kesana kemari dan diketemukan dipendopo sedang makan-makan dengan teman-memannya sebanyak tujuh orang yang tidak diketahui siapa yang tujuh orang tersebut karena tidak ada yang mengenalnya. Setelah itu Demang Cimarilit permisi pulang bersama tujuh temannya dengan menunggangi harimau.

  Kisah lain menceriterakan bahwa suatu waktu Kepala Pemerintahan dari Seuseupan, sebut saja Patih Seuseupan merasa iri hati atas kekuasaan Tumenggung Argawijaya yang makin luas dan beliau bermaksud menyerang Cikaso. Untuk menahan serangan, Tumenggung menugaskan pasukannya untuk mencegat dibatas kota yaitu batas antara Sindangbarang dengan Cikaso. Untuk menggagalkan serangan tersebut Imbakerti (Penasihat Tumenggung) membekali pasukan dengan sapu merang dan air ketan hitam dengan pesan apabila sudah behadap-hadapan dengan musuh hendaknya air ketan hitam tersebut dicipratkan dengan menggunakan sapu merang. Dengan kekuasaan Tuhan pada saat berhadap-hadapan dengan musuh air ketan hitam tersebut dicipratkan maka bergelimpanganlah musuh dalam keadaan pingsan, patihnya sendiri dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Setelah patihnya meninggal maka pasukannya dikirim makanan (timbel) dengan lauk pauknya lalu sadar dari pingsannya dan disuruh makan, setelah selesai makan disuruh pulang lagi ke Seuseupan.

  Masih dalam zaman Tumenggung Argawijaya, mengkisahkan terjadinya peperangan antara Tumenggung dengan Kompeni yang mau menaklukan Cikaso, ceritera ini sering dilakonkan dalam ceritera wayang, adapun ceriteranya sebagai berikut :

Dikisahkan pula pada zaman Tumenggung Argawijaya, Kompeni berusaha untuk menaklukkan Cikaso, karena Cikaso masih tetap tidak mau tunduk kepada Kompeni maka diaturlah suatu tipu muslihat oleh Belanda, yaitu dengan mengadakan pesta besar-besaran bertempat di desa Kaliaren. Maksud pesta tersebut akan mengundang Tumenggung Cikaso dan akan dibunuhnya ditempat keramaian. Diundang dalam pesta tersebut Raden Leuwimunding, Gedeng Plumbon, Pangeran Gempol, Kuwu Kaliaren dan Tumenggung Cikaso. Undangan pesta disampaikan oleh Kuwu Kaliaren kepada Tumenggung, tapi tumenggung, tidak bisa hadir karena berhalangan dan mengutus patihnya yaitu patih Nagareja. Meskipun tumenggung tidak hadir tapi niat Kompeni tetap dilaksanakan yaitu ingin membunuh Patih Nagareja. Patih Nagareja adalah Patih yang cukup tangguh/sakti dan kuat serta tidak mempan oleh senjata, tapi ada yang nengetahui kelemahan beliau yaitu tidak akan tahan oleh tusukan bambu hitam (awi hideung=sunda).

Saat berlangsungnya pesta terjadilah keributan dan patih Nagareja dikeroyok dan ditusuk dengan bambu hitam, dalam keadaan terluka dengan tusukan bambu masih tertancap diperutnya Patih Nagareja meloloskan diri dan lukanya dibalut dengan ikat kepala (iket=sunda) maksudnya mau pulang kembali, tetapi dalam perjalanan mendekati perbatasan Cikaso (daerah Jalaksana) lukanya tidak tertahankan lagi, maka dicabutlah bambu hitam yang menancap diperutnya, bambu tersebut dilemparkan dan jatuh di kampung Pasawahan yang sekarang dinamakan Padelingan.

Patih Nagareja itu sendiri dalam keadaan luka terlunta-lunta akhirnya meninggal dan tidak diketahui kuburannya, tapi ada pula ceritera lain bahwa Patih Nagareja dikuburkan di Kompleks Makam Tumenggung.

  Tersebut pula kisah setelah Kompeni gagal membunuh Tumenggung Argawijaya, maka Kompeni bekerja sama dengan Raden Leuwimunding dan Raden Leuwimunding dikenal sebagai orang yang cukup sakti, kebal akan senjata tajam karena memiliki badik emas, ada juga yang menceriterakan mempunyai wesi kuning.

Setelah diketahui bahwa Raden Leuwimunding akan menyerang, maka bermusyawarahlah Tumenggung Argawijaya dan Imbakerti. Dalam Musyawarah tersebut diputuskan bahwa tidak akan melawan Raden Leuwimunding dengan perang secara terbuka, tapi akan dilawan dengan tipu muslihat karena Raden Leuwimunding cukup sakti maka apabila dilawan dengan secara terbuka akan banyak menimbulkan korban. Tipu muslihat yang digunakan yaitu dengan membuat lubang jebakan yang didalamnya diisi dengan bilah-bilah bambu runcing (dirucuk) dan atasnya ditutup dengan daun-daunan dan tumput. Selain dipersiapkan jebakan, Tumemnggung meminta bantuan kepada tumenggung Kuningan, tetapi tidak mau membantu karena syarat yang diajukan ditolak oleh Tumemnggung Argawijaya, adapun syaratnya yaitu mau membantu Cikaso asal Cikaso mau bergabung ke Kuningan / bergabung dibawah kekuasaan Tumenggung Kuningan.

Sesuai dengan apa yang sudah dipersiapkan maka datanglah pasukan Raden Leuwimunding yang dibantu oleh Kompeni, pasukan sebelum menyerang berkumpul disuatu tempat (sekarang dinamakan Desa Kurucuk dan diganti namanya jadi Kramatmulya), setelah pasukan berhadap-hadapan dan saling mengejek, maka menyerbulah pimpinan pasukan Raden Leuwimunding beserta pasukannya mengejar pasukan Cikaso yang lari kesebelah timur, jebakan sesuai dengan perhitungan pimpinan pasukan Raden Leuwimunding terjerumus kedalam lubang jebakan , lalu dikeroyok beramai-ramai, dilempari dengan batu, ditimbun dengan tanah sampai mati, pasukannya mengundurkan diri dan sebagai peringatan tempat berkumpulnya pasukan saat akan menyerang dinamakan Kurucuk, karena pimpinannya mati dirucuk. Tempat terjerumusnya Raden Leuwimunding dinamakan Cilangga, karena penyerangan tersebut laga atau tidak berhasil, tetapi ada pula yang menyebut bahwa Cilangga tersebut berasal dari langgeng karena airnya tetap mengalir meskipun pada musim kering sekalipun. Dari tempat tertimbunnya Raden Leuwimunding mengalir air yang berbau bangkai sehingga aliran air / selokan tersebut dinamakan Cibugang.

Pasukan Cikaso yang mengundurkan diri dalam keadaan luka-luka membersihkan luka-lukanya pada sebuah aliran sungai yang sekarang dinamakan Cihanyir. Adapun kepercayaan rakyat Desa Cikaso pada lokasi tertentu di Cihanyir airnya bisa digunakan untuk mengobati. Disebut Cihanyir karena airnya bau anyir darah.

Setelah diserang pasukan Raden Leuwimunding, ketumenggungan di Cikaso makin lemah dan akhirnya Tumenggung meninggal harta kekayaannya disimpan disebuah tempat yang sekarang disebut Gunung Simpen. Lokasinya di Dusun Manis Blok Nusa. Adapun harta yang disimpannya berupa panimbal beureum dan panimbal bodas (Teko berwarna merah dan putih) yang berisi Jagung Putih, menurut ceritera yang dimaksud Panimbal beureum yaitu teko dari bahan keramik, sedangkan panimbal bodas yaitu teko dari porselin dan yang dimaksud degan jagung bodas adalah berlian. Selain itu disimpan pula Sangga Emas (baki emas) Keris Antayansari dan Keris Nagapasah. Menurut ceritera di Gunung Simpen ini ada yang menunggunya yaitu harimau jadi-jadian yang dinamai si Pencor (Harimau Pincang)

  Ada pula ceritera rakyat mengenai Imbasuta, Imbasuta adalah adik dari Imbakerti. Mengenai Imbasuta ini ada dua versi ceritera, yaitu versi ceritera orang-orang Sindangbarang dan versi ceritera orang-orang Cikaso.

           Versi ceritera orang Sindangbarang (Disarikan dari Diktat sejarah Desa Sindangbarang yang disusun oleh U. SUGANDA tahun 1984)

Embah Buyut Cihideung atau Ciringsing Wayang yang biasa disebut oleh orang Cikaso Imbasuta adalah leluhur orang Sindangbarang, suatu waktu terjadi pertentangan dengan leluhur Desa Karangmangu karena persengketaan batas wilayah, karena kesaktian Embah Buyut Cihideung, leluhur Desa Karangmangu mengalami kekalahan dan meminta bantuan ke Cikaso akan tetapi itupun tidak kuat, sehingga batas Desa Sindangbarang bertambah ± 50 meter dari batas semula, karena Embah Buyut Cihideung seorang yang ahli pertanian, maka beliau membuat saluran tersebut Embah Buyut Cihideung tidak menggunakan alat-alat seperti biasanya, tetapi dengan alat kemaluannya, disuatu tempat yang bernama Cisuta ada sebuah batu yang menghalangi saluran sehingga sulit dikerjakan, Embah Buyut Cihideung merasa sedih sampai mengeluarkan air mata dan ditempat itulah asal mulanya disebut Cisuta ((nyusut cimata =sunda), ditempat tersebut saat ini ada batu menonjol kesaluran air dan ada bekas-bekas menatah batu tersebut. Dalam pekerjaan selanjutnya pada suatu tempat tidak meneruskan pekerjaan karena terlalu berat melewati tegalan apabila saluran tersebut diteruskan ke sebelah utara dan tempat tersebut dinamakan Susukan Burung (saluran tidak jadi), pekerjaan pembuatan saluran tersebut dan saluran air tersebut bisa mengairi sawah seluas ± 53 Ha. Suatu waktu Embah Buyut Cihideung diundang ke Cikaso untuk menyaksikan pertunjukan wayang, tetapi ceritera yang dilakonkan wayang tersebut ternyata menceriterakan tentang sepak terjang Embah Buyut Cihideung baik yang jelek atau yang bagusnya. Akibat ceritera tersebut timbulah amarah Embah Buyut Cihideung sehingga terjadi perkelahian dengan orang-orang Cikaso dan Embah Buyut Cihideung kalah lalu dikejar dan mundur ke Sindangbarang, karena dikejar terus lalu mundur menuju kesebelah timur sampai ke Desa Cihideunggirang, beliau bersembunyi disebuah sumur dan orang-orang Cikaso kehilangan jejak, tapi akhirnya ditemukan juga. Sumur yang dipakai tempat persembunyian Embah Buyut Cihideung dinamakn Sumur Cihideung dan Embah Buyut Cihideung itu sendiri dimakankan didekat sumur tersebut di Desa Cihideunggirang dekat pekuburan Desa Panyosogan Kecamatan Ciawigebang. Sebelum Embah Buyut Cihideung mundur sampai ke Cihideung, sempat pula memberikan amanat kepada warga Desa Sindangbarang untuk tidak menanggap wayang, sehingga hiburan menanggap wayang menjadi tabu bagi masyarakat Sindangbarang. Baru sesudah Kemerdekaan (tahun 1945) ada yang berani menanggap wayang, sebelumnya ada juga yang berani menanggap wayang tapi terjadi bencana.

Ceritera lain mengisahkan bahwa pada saat di Desa Sindangbarang kesulitan mencari seorang Pimpinan Desa (Kuwu) datanglah seorang laki-laki yang cukup cakap ke Desa Sindangbarang yang ditanya oleh seorang leluhur Desa Sindangbarang yaitu Embah Buyut Gede tentang maksud kedatangan pemuda tersebut, jawabnya bahwa ia datang dari Kalimanggis atas perintah ibunya untuk berguru dan menanyakan ayahnya kepada Embah Buyut Gede. Setelah pemuda tersebut berdiam lama dan berguru kepada Embah Buyut Gede lalu diangkat menjadi Kuwu pertama Desa Sindangbarang dengan gelar Embah Bewu (Lebe dan Kuwu), disebut Lebe karena beliau juga sebagai ahli dalam bidang agama. Adapun ayahnya yang dicari pemuda tersebut dijelaskan oleh Embah Buyut Gede bahwa ayahnya adalah Tumenggung Cikaso dari istrinya / selir yang berasal dari Kalimanggis.

         Versi ceritera orang Cikaso.

Imbakerti mempunyai dua orang saudara, yaitu Imbawacana dan Imbasuta. Imbakerti adalah penasihat tumenggung Cikaso, seorang arif dan bijaksana, sesepuh tempat orang bertanya dan cukup dalam ilmunya begitu pula kedua adiknya Imbasuta dan Imbawacana kedua-duanya berperan sebagai pembantu Tumenggung.

Imbawacana membantu dalam bidang Pembinaan Pemerintahan sedangkan Imbasuta membantu dalam bidang Kesejahteraan Rakyat, khususnya dalam bidang Pertanian. Imbasuta mempunyai jiwa penyayang dan ahli dalam bidang pertanian, merasa prihatin melihat masyarakat yang berada disebelah timur Desa Cikaso (Sindangbarang) mempunyai lahan yang tidak bisa diairi, maka dibuatlah satu saluran air untuk mengairi daerah tersebut, dalam proses pembuatan saluran tersebut, ceriteranya sama dengan ceritera versi orang Sindangbarang yaitu membuat saluran tersebut dengan kemaluannya sedangkan saluran tersebut dinamakan Solokan Cisuta. Sebelum meninggal beliau memberikan amanat ingin dikuburkan dibatas wilayah perbatasan kekuasaan Tumenggung Cikaso sehingga pada saat beliau wafat layonnya akan dibawa keperbatasan kekuasaan wilayah Cikaso, tapi ditengah jalan (didaerah Sindangbarang) terjadi hujan besar dan layon tersebut ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang membawanya. Layon tersebut ditemukan oleh orang-orang Sindangbarang dan mengatakan bahwa itu mayat Imbasuta yang ingin dimakamkan dibatas wilayah Cikaso, sebagai tanda terimakasih orang-orang Sindangbarang, layon tersebut dibawa dan untuk dikuburkan dibatas wilayah Cikaso sesuai amanatnya.

Karena sipembawa layon (keranda mayat) tidak mengetahui batas-batas yang tepat wilayah Ketumenggungan Cikaso, pada saat sampai di Desa Cihideung dikuburkanlah disana, dan sampai sekarang kuburannya di Desa Cihideung. Ada kepercayaan masyarakat Cikaso, kalau mau nyarang (menahan hujan) hendaknya berjiarah ke kuburan Imbasuta. Itulah ceritera Imbasuta menurut versi orang Cikaso, mana yang benar dari kedua versi ceritera ini ? Wallahu a’lam bisshawaab, namanya juga ceritera.

  Ceritera lain beberapa kejadian bencana alam di Desa Cikaso dan ceritera ini diceriterakan Kakekku Sugri Rana Sasmita dan ceritera ini diceriterakan oleh orang tuanya (Buyut penulis) dimana pernah terjadi gempa bumi yang cukup hebat sehingga alun-alun Cikaso, dan membuat alur sungai dari dalam alur itu keluar ikan-ikan yang terbawa air. Gempa ini tidak mengakibatkan tanah-tanah jadi retak tapi banjir besar melanda Cikaso dengan membawa batu-batu besar, pada peristiwa tersebut tampillah orang tua yang punya cukup ilmu berdiri diperbatasan Desa Cikaso Kurucuk (Kramatmulya) berdo’a menengadahkan tangan dan kehendak Tuhan batu-batu besar yang terbawa banjir tersebut tidak melanda Desa Cikaso tapi berbelok kekiri dan kekanan sehingga sampai saat ini di Cikaso tidak terdapat batu-batu bekas banjir tersebut, yang ada didaerah Desa Kramatmulya (Batu Karut) dan disebelah selatan Desa yang ada komplek Mungkal Dempak dan Cigeletuk. adapun bekas retaknya tanah akibat gempa yang membuat seperti alur sungai ditengah alun-alun saat ini merupakan endapan pasir yang memanjangsekitar ± 7 meter. Untuk pembuktian ini pernah disudut alun-alun sekarang yang dipakai sekolah Tsanawiyah (sekarang bangunan MI) digali pasirnya dan ini apabila ditarik garis lurusnya sampai kerumah penulispun masih terdapat endapan pasir dan ini mungkin terus memanjang sampai sungai Cilengkrang sebelah timur, itulah ceritera Kakekku yang diceriterakan oleh orang tuanya.

Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1804, karena pada tahun tersebut terjadi gempa bumi yang menghancurkan bangunan-bangunan di kota Kuningan.

  Kisah lain menyebutkan bahwa pada saat Kakekku lahir terjadi bencana alam yang hebat, langit menjadi gelap tertutup debu, orang-orang berlarian kesana kemari “ di Desa Iur” pada waktu itulah Kakekku lahir dan oleh orang tuanya waktu kecil diberi nama si Iur, untuk memperingati kejadian bencana alam tersebut.

Kapankah kejadian ini ? Perkiraan penulis terjadi pada tahun 1883 pada saat gunung Krakatau meletus, peristiwa ini bukan saja bencana Nasional tapi bencana Internasional yang mengguncang 2/3 bumi ini, untuk menggambarkan betapa hebatnya ledakan Gunung Krakatau tersebut akan sedikit penulis uraikan cukilan ceritera dalam buku 100 tahun meletusnya Krakatau yang dikarang Abdul Hakim, diterbitkan oleh Pustaka Antarkota tahun 1981 sebagai berikut :

Pada bulan Agustus 1883 terjadi letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda yang menggemparkan seluruh dunia, terjadinya ledakan pada tanggal 26,27 dan 28 Agustus tahun 1883 selama tiga hari Krakatau menyemburkan abu, batu apung dan lahar panas. Gelombang tinggi memusnahkan kota Teluk Betung (Lampung) Anyer dan Caringin (Banten) bunyi ledakan terdengar keseluruh Nusantara dan letusan-letusan kebarat terdengar sampai Srilankka dan Karachi ketimur sampai pertengahan Sidney. Gelombang-gelombang bunyi letusan meliputi seperempat dari luar permukaan bumi. Abu-abu halus yang ditiupkan mencapai ketinggian 30 – 70 Km dan abu-abu ini menyebar kesebagian besar dunia. Letusan Krakatau ini berpengaruh terhadap tekanan udara sampai ke Eropa. Di Tokyo setelah terjadi ledakan Krakatau berminggu-minggu lamanya matahari kelihatannya berwarna merah tembaga. Di kota Missauri (Amerika) 6 bulan setelah terjadi eurupsi matahari berwarna kuning. Banyaknya bahan material yang disemburkan oleh letusan gunung Krakatau ke angkasa 18 Km³ yang tersebar didaerah seluas 872.000 Km². jumlah korban jiwa karena letusan Krakatau bulan Agustus 1883 sebanyak 13.417 jiwa. Dari peristiwa alam inilah penulis bisa mengambil kesimpulan titimangsa hari kelahiran Kakek penulis yaitu pada bulan Agustus 1883 dan wafat pada bula Juli 1967 pada umur 84 tahun.

  Ada pula ceritera lain bahwa pada waktu pemilihan Kuwu Sajum ada yang ”mancir” dari luar Desa (ikut pemilihan) yaitu Bapak Kuwu Mashar dari Kramatmulya, Bapak Kuwu Mashar adalah adik dari Bapak Kuwu Tuba Karangmangu,tapi ternyata kalah, setelah selesai pemilihan, kemungkinan ada yang tidak puas karena terjadi kebakaran yang menghabiskan seluruh Kampung Pasawahan. Adapun Kuwu Sajum meninggal setelah ikut pesta “Tayuban” yang diselenggarakan di Desa Kramatmulya. Pesta yang diadakan di Kurucuk atau Kramatmulya adalah dalam rangka menyambut pembesar belanda yang akan lewat dari Cirebon ke Kuningan., karena sudah biasa apabila ada pembesar  akan lewat suka ada perintah melaksanakan keramaian / pesta dipinggir jalan dan Kramatmulya diadakan pesta didekat rumah bapak Abang sekarang (Alfa Mart saat buku ini dibuat).

Meninggalnya Bapak Kuwu Sajum setelah minum minuman keras dalam Tayuban, tiba-tiba muntah darah lalu dibawa pulang dan akhirnya meninggal dunia,kurang lebih 10 hari kemudian Bapak Ngabihi Jejer pun meninggal dunia pula, beliau ikut hadir dalam pesta tersebut dan ikut minum-minum. Apakah kematian ini ada unsur kesengajaan ? penulis tidak mengetahuinya.

Demikianlah ceritera-ceritera rakyat dari Cikaso yang berkembang dari mulut ke mulut yang dapat penulis himpun dan disusun dalam suatu ceritera.

2.      Ceritera rakyat dihubungkan dengan fakta sejarah Kesultanan Cirebon

Dalam buku karya RH. Unang Sunaryo SH. Dengan judul MENINJAU SEPINTAS SEJARAH PEMERINTAH CIREBON dan buku sejarah masuknya Islam jilid IV karya HAMKA menceriterakan sebagai berikut :

Pangeran Giri Laya beserta kedua anaknya Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Mataram (diamankan/ditahan) hampir selama 12 tahun. Pangeran Girilaya meninggal di Yogya. Harta dan anaknya dibebaskan pada saat terjadi pemberontakan Trunajaya (1755), lalu keduanya dibawa ke Kediri, dari Kediri ke Surabaya terus dibawa ke Banten, tahun 1677 Pangeran Martawijaya naik tahta sebagai Sultan Sepuh pertama dengan gelar Raja Samsudin dan Kartawijaya sebagai Sultan Anom, sedangkan Pangeran Wangsakerta Siltan bungsu pada waktu ayah beserta kakak-kakaknya ditahan di Yogya, beliau adalah sebagai pejabat Sultan di Cirebon. Pada saat kedua kakaknya dinobatkan, Pangeran Wangsakerta sementara tinggal dengan Sultan Sepuh di komplek Keraton Pakungwali, sedang menurut HAMKA Pangeran Wangsakerta setelah kedua Kakaknya dinobatkan beliau pergi ke Banten. Tanggal 23 Januari 1681 dibuat perjanjian persahabatan antara Sultan-Sultan di Cirebon dengan VOC, perjanjian ini terjadi karena Cirebon merasa terganggu oleh gangguan keamanan yang dilakukan oleh pasukan Banten, hal ini terungkap dalam catatan harian VOC yang dikutip Drs. S. Edi Eka Jati dan dikutip lagi oleh RH. Unang Sunaryo SH., perjanjian ini yang jadi permulaan secara resmi VOC menggenggam Kesultanan Cirebon.

Tanggal 2 Pebruari 1809 dibawah kekuasaan Gubernur Hindia Belanda dikeluarkan peraturan mengenai Tanah-tanah Cirebon dan para Sultan jadi pegawai Belanda dengan Pangkat dan Jabatan Bupati dan Wedana. Peraturan ini diteruskan pelaksanaannya oleh Rafless pada tahun 1811, karena pada bulan Oktober 1811 Inggris berhasil merampas koloni kerajaan Belanda tahun 1815 saat kekuasaan Inggris akan berakhir, ini karena kekuasaan-kekuasaan Sultan makin dikurangi.

Tahun 1815 Kesultanan Cirebon beralih lagi dikuasai oleh Belanda dan mengadakan penertiban-penertiban pemerintah, diperkirakan saat inilah terjadi penyerangan-penyerangan ke Tumenggung Cikaso seperti yang diceriterakan dalam ceritera rakyat yaitu karena Cikaso tidak mau ditaklukkan/ditertibkan oleh Belanda. Tanggal 5 Januari 1819 dibentuk Kabupaten Kuningan yang dikepalai oleh seorang Bupati, maka otomatis Ketumenggungan Cikaso pada jaman Tumenggung Argawijaya sekitar tahun 1825 berakhir.

Bukti bahwa di Cikaso pernah ada Pemerintahan dengan Kepala Pemerintah bergelar Tumenggung / Bupati adalah tercatat dalam buku karya Stapford Raffles berjudul THE HISTORY OF JAVA, Vol II, London 1817 yang dikutip oleh Unang Sunaryo SH yang menyatakan jumlah penduduk, luas tanah sawah dan tegalan yang termasuk Kesultanan Cirebon.

Tag : sejarah cikaso profil desa
Bagikan:

0 Komentar

Statistik Pengunjung

Online 3
Hari ini 44
Kemarin 215
Bulan ini 259
Tahun ini 4900
Total 30989
PEMERINTAH DESA CIKASO

Jalan raya Desa Cikaso No 01 Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan

[email protected]

Ikuti Kami
Link Terkait

© Pemerintah Desa Cikaso. All Rights Reserved. Powered by easydes.id

Design by HTML Codex

Hubungi kami